web 2.0

Thursday, February 4, 2010

Neoliberalisme Mengakibatkan Pemanasan Global

Banyak yang menganalisis bahwa pemanasan global adalah penyebab banjir, kekeringan, atau kelaparan yang mengancam planet dan umat manusia saat ini. Hal itu jelas salah kaprah, karena pemanasan global bukanlah fenomena baru, bukan pula fenomena yang terjadi tiba-tiba dari langit (given atau taken for granted). Jika dianalisis secara mendalam, pemanasan global sesungguhnya bukanlah sebab, ia adalah akibat. Ia adalah akibat dari mode produksi kapitalistik. Mode produksi kapitalistik inilah yang seharusnya dianalisis lebih lanjut sebagai permasalahan utama yang menyebabkan pemanasan global. Analisis terhadap penyebab pemanasan global ini juga harus dilakukan secara holistik, tidak sektoral seperti saat ini yang cenderung mengambil sudut pandang lingkungan saja. Karena sesungguhnya di sektor agraria (bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya) seperti pertanian, perikanan, pertambangan dan industri secara historis telah dieksploitasi dengan praktek-praktek kapitalistik. Jadi sesungguhnya perusakan lingkungan tak hanya dilakukan akhir-akhir saja, tapi sesungguhnya adalah rangkaian sejarah panjang penindasan mulai dari era kolonial. Namun adalah sangat logis jika dinyatakan kontribusi pemanasan global mulai sangat marak dari era neoliberal (1944 hingga sekarang).
Mengutip perkataan presiden pertama RI Soekarno, era penjajahan gaya baru inilah yang ditandaimode produksi yang mengerikan: asap-asap pabrik yang mengepul menghitamkan udara, jutaan hektar tanah yang dirangsek untuk perkebunan raksasa, gedung yang mencakarcakar langit, dan masifnya hutan yang dibabat. Kesemuanya bertujuan tunggal, demi laba sebesar-besarnya. Mode produksi ini tak kenal puas, tak kenal batas untuk tumbuh. Dan kita bisa lihat hasilnya, angka-angka yang hanya dinikmati segelintir perusahaan raksasa, negara miskin dan berkembang maju, lembaga keuangan internasional dan tentunya individu-individu pemilik kapital. Selama beberapa dekade neoliberalisme diejawantahkan model pembangunan global, dan selama itu pulalah proses pemanasan global sebenarnya telah diakselerasikan. Ada beberapa jalan neoliberalisme secara kebijakan dan praktek, namun secara singkat bisa kita mengerti dari kredo Konsensus Washington yakni (1) privatisasi; (2) deregulasi; dan (3) liberalisasi pasar.

Utang sebagai pangkal privatisasi dan deregulasi
Jika kita menilik poin pertama dan kedua dari Konsensus Washington, kita tidak bisa tidak melihat fenomena utang dan intervensinya terhadap negara miskin dan berkembang sebagai 5 praktek langsung neoliberalisme. Proyek dan program utang luar negeri atas sponsor lembaga kreditor seperti IMF, Bank Dunia, ADB, JBIC, dll telah menimbulkan biaya sosial-budaya dan ekonomi-politik yang sangat besar. Seperti pengusiran paksa, penggusuran, kerusakan lingkungan dan korupsi. Penemuan-penemuan empiris mengenai hal ini menyebutkan bahwa biaya yang ditanggung sebuah negara miskin dan berkembang untuk merehabilitasi dampak yang ditimbulkan akibat sebuah proyek utang justeru lebih besar dari utang baru yang diterima. Penyebabnya adalah kebijakan penyesuaian struktural lembaga-lembaga kreditor yang menghiraukan kapasitas negara peminjam untuk menanggungnya. Salah satu yang menyebabkan kebijakan seperti pengurangan subsidi, privatisasi, dan liberalisasi ekonomi justeru memperburuk kwalitas kehidupan rakyat. Sebuah laporan UNICEF menunjukan bahwa berbagai program penyesuaian struktural Bank Dunia dan IMF secara substansial bertanggung jawab atas menurunnya tingkat kesehatan, gizi, dan pendidikan puluhan juta anak di dunia ketiga. Di Indonesia, penyesuaian struktural menyebabkan semakin bertumpuknya utang luar negeri dan termasuk negara yang paling lambat keluar dari dampak krisis ekonomi 1997 – 1998. Beban utang yang besar juga memaksa negara miskin dan berkembang melakukan ekstraksi sumber daya alamnya untuk melayani pembayaran utang kepada negara imperialis(Amerika dan Uni Eropa). Apalagi, dampak perubahan iklim(bencana banjir, kekeringan, dan badai) menyebabkan negara miskin membutuhkan sumberdaya yang signifikan untuk merehabilitasi dampak dari bencana. Sebuah laporan yang dikeluarkan OXFAM, menyebutkan bahwa negara miskin membutuhkan setidaknya 50 miliar USD per tahun untuk program rehibilitasi dan perlindungan terhadap dampak perubahan iklim. Di tingkat domestik, hal ini berkorelasi dengan kebijakan pemerintah untuk meningkatkan export sumber bahan mentah seperti karet, kopi, sawit, minyak dan gas. Sebuah tindakan untuk memenuhi hasrat kapital dengan mengorbankan hutan alam dan kerusakan lahan-lahan agraria akibat eksplorasi pertambangan di semua negara penghutang. Bukannya mengoreksi kebijakan keliru ini, hal ini ditanggapi secara serius oleh lembaga-lembaga keuangan internasional dengan memberikan utang baru untuk mengintensifkan dan memperluas jangkauan produksi industri-industri tersebut. Terhitung sejak tahun 1992 – 2004, grup Bank Dunia telah menyetujui skema utang sebesar 11 miliar USD untuk membiayai 128 proyek energi fosil di 45 negara miskin dan berkembang, termasuk ekstraksi, pembangkit listrik, serta kebijakan reformasi sektor energi. Hasil perhitungan yang telah dilakukan, proyek-proyek tersebut menyumbang sekitar 6 43,4 miliar ton emisi karbon dioksida bagi penduduk dunia. Parahnya, Hampir dari setengah dari proyek untuk minyak, gas, dan batubara yang disponsori bank dunia tersebut (dan lebih dari 80 persen proyek untuk minyak) didesain untuk memenuhi kebutuhan pasar global, terutama di Negara-negara imperialis. Dalam menjalankan proyek-proyek utang baru tersebut, pihakkreditor mewajibkan negara penghutang untuk menjalankan agenda-agenda penyesuaian struktural seperti melakukan privatisasi dan liberalisasi ekonomi. Misalnya agenda privatisasi air, program administrasi pertanahan, liberalisasi sektor migas dan pertambangan serta reformasi sektor kehutanan bagi masuknya investasi baru. Agenda tersebut pada kenyataannya justeru mendorong kerentanan terhadap lahirnya bencana ekologis baru di negara penghutang.
Perdagangan bebas
Ilustrasi untuk menggambarkan perdagangan bebas sebagai salah satu pemercepat pemanasan global tidaklah sulit. Mode produksi kapitalistik-neoliberal pada industri-industri(terutama pertanian, industri dan jasa) seperti yang telah dinyatakan di atas terus berkembang hingga menjadi raksasa. Aktor-aktor utamanya, yakni perusahaan transnasional raksasa (TNCs) tentunya menghasilkan produk yang luar biasa masifnya untuk dijual, dilempar, atau di-dumping ke pasar. Pasar di sini tentu tidak hanya negara asal penghasil misalnya negara maju macam AS dan Uni Eropa, namun juga menuju negara miskin di Asia, Afrika dan Amerika Latin. Ini adalah ciri perekonomian global yang berjalan di atas mode produksi kapitalistik-neoliberal yang terus berekspansi, berorientasi ekspor, dan tak henti memburu pasar-pasar baru. Kita bisa lihat ilustrasinya dalam sektor pertanian, bahwa pangan—baik mentah maupun kemasan—didistribusikan melalui transportasi ke seluruh dunia dan bahkan kita sangat akrab dengan pangan impor yang tersedia di pasar domestik kita. Sangat gampang mendapatkan buah-buahan dari Cina atau New Zealand, beras impor Thailand, kedelai dan gandum dari AS, daging dan susu dari Australia misalnya. BBM yang dipergunakan untuk proses ini tentunya membuang emisi karbon ke atmosfer. Organisasi petani Swiss, UNITERRE, memperkirakan bahwa satu kilo asparagus yang diimpor dariMeksiko membutuhkan 5 liter BBM untuk ditransport via pesawat terbang (kurang lebih 11.800 kilometer) menuju Swiss. Sementara jika diproduksi lokal, asparagus di Swiss hanya membutuhkan 0.3 liter BBM untuk mencapai langsung ke konsumen. Kira-kira penggambaran kasusnya serupa dengan fenomena kedelai, buah, daging, dan gula impor ke Indonesia.
Hal serupa terjadi pada barang-barang produksi hasil industri. Barang-barang elektronik, besi dan baja, plastik dan pengolahan berbagai macam bahan mentah yang dihisap dari negara miskin dan berkembang, seluruhnya dilempar ke berbagai penjuru dunia. Praktek ini selain mengulangi mode produksi yang merusak lingkungan yang intensif-BBM, juga berdampak negatif terhadap aspek sosial-budaya dan ekonomi-politik rakyat di negara miskin dan berkembang. Dumping produk pertanian, industri dan jasa dari negara imperialis melalui perdagangan bebas mengakibatkan hancurnya harga dan pasar domestik. Akibatnya, rakyat di negara miskin dan berkembang terus menderita karena dibanjiri produk-produk murah hasil pertanian, industri dan jasa. Sementara produksi di tingkat domestik terancam. Aktoraktor yang berkolaborasi di dalamnya bukan hanya TNCs, namun juga berkolaborasi dengan lembaga keuangan internasional dan pemerintah negara miskin dan berkembang penganut ajaran neoliberal. Untuk yang terakhir, kebijakankebijakan di tingkat nasional tentunya sangat mempengaruhi apakah suatu negara membuka pasarnya terhadap perdagangan bebas atau tidak. Sudahlah negara miskin dan berkembang menerima dampak kebijakan ekonomi neoliberal yang keliru, seperti pembayaran utang yang besar, penghancuran pasar dan harga produksi lokal, bencana lingkungan, konflik sosial dan pelanggaran HAM, serta ”pengurasan” sumber daya alam. Mereka juga harus menanggung akibat langsung pemanasan global yang disebabkan oleh sumbangan emisi karbon dari model pertumbuhan ekonomi negara imperialis. Tabel. Daftar Nama TNCs, Korporasi Nasional serta ketidakadilan sosial dan ketidakdilan ekologi yang diakibatkan

0 comments:

Post a Comment

Pages

About this blog

Followers

Adsense Banner

Iklan

Jejak Kaki

Free Shoutbox by ShoutCamp