Cikal bakal terbentuknya kesepakatan protokol kyoto
Perubahan iklim menjadi isu yang mendunia di kemudian hari, pada waktu rutinnya digelar pertemuan-pertemuan dari WMO (World Meteorology Organitation) di pertengahan tahun 1980-an, dari hasil pertemuan tersebut ditemukan berbagai penelitian dan data yang menggambarkan kaitan yang erat antara peningkatan konsentrasi CO2 dengan peningkatan temperatur ratarata permukaan bumi. Demikian pula dengan perkiraan dampak yang akan ditimbulkannya kedepan. Perkembangan berikutnya WMO bersama dengan UNEP (United Nations Environment Program) melakukan sebuah pertemuan yang pada intinya membahas tentang fenomena iklim ini, dan akhirnya mengahasilkan pula kesepakatan yakni IPCC (Intergovernmental on climate change, IPPC sendiri merupakan kelompok para ilmuan dari seluruh dunia yang bertugas untuk meneliti fenomena iklim serta solusi yang diperlukan.
Dari hasil kegiatan yang dilakukan oleh IPPC yang di dalamnya berkumpul pakar-pakar iklim se-dunia menghasilkan sebuah laporan yang dikenal sebagagi FAP (Firest Assessment Report) yang berarti adanya sebuah peringatan yang sangat berbahaya ke depannya karena merujuk pada data yang didapatkan dari hubungan konsentrasi CO2 dan suhu yang mengalami peningkatan. Laporan tersebut dijadikan sebagai rekomendasi terhadap PBB selaku Organisasi perserikatan yang menghimpun ratusan negara untuk sesegera mungkin ditindak lanjuti. Ketika disodorkan Majelis umum PBB kemudian menyetujui untuk ditindak lanjuti maka setelah itu diadakanlah pertemuan INC (Intergovernmental negotioting commite) sebagai negosiasi awal kemudian setelah itu disepakatilah adanya UNFCCC (United Nations Framework Convention Climate Change.
Sejak berdirinya UNFCCC maka rutin dilakukan pertemuan-pertemuan international tentang bagaimana menanggulangi dampak yang nanti ditimbulkannya, dari konvensi-konvensi yang dilakukan hingga konfrensi tingkat tinggi (KTT) diadakan, maka dihasilkan sebuah kesepakatan yakni Protokol Kyoto dari kegiatan yang dikenal hingga sekarang yakni COP (conference of parties),
Protokol Kyoto merupakan sebuah kesepakatan international yang menunjukkan upaya yang sangat serius dalam menghadapi perubhan iklim. Protokol kyoto memungkinkan diterapkannya mekanisme flesibilitas, ke tiga mekanisme tersbut adalah :
1. JI (Join Implementation), kerja sama antara sesama negara Annex I (negara maju) dalam upaya menurunkan emisi gas rumah kaca, biasanya ini dilakukan dengan investasi asing antara negara Annex I yang diimbali dengan unit penurunan emisi (Emisi Reduction Unit) ERU
2. International Emission Trading (IET) perdagangan ERU antara negara Annex I
3. Clean Development Mechanism (CDM) pada dasarnya adalah guabungan dari JI dan IET yang berlangsung antara negara Annex I dengan negara non Annex I dengan persyaratan mendukung pembangunan berkelnajutan di negara non-Annex I, komoditas yang digunakan bukanlah ERU melainkan CER (Certifiated Emissions Reductions) yaitu jumlah penurunan emisi yang telah disertivikasi.
REDD sebagai bentuk kerja sama perdagangan karbon
Di sektor kehutanan karena adanya perdaganan carbon antaran negara Annex I dengan negara berkembang maka insentif dana juga mudah menucur bahkan dengan alasan pembangunan berkelnjutan di negara berkembang, namun olh walhi dinilai cacat, di sektor kehutanan terdapat bentuk kerja sama dengan negara Annex I yakni REDD.
REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Degradation in developing countries) adalah mekanisme internasional yang dimaksudkan untuk memberikan insentif yang bersifat positif bagi negara berkembang yang berhasil mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, REDD merupakan salah satu kegiatan mitigasi perubahan iklim di sektor kahutanan. Mitigasi yakni berhubungan dengan cara kita mengatasi sumber atau penyebabnya. Kita memerlukan keduanya karena saling melengkapi. Para ilmuwan memperkirakan bahwa pengaruh emisi pada masa lampau masih akan terasa meskipun mitigasi terhadap emisi GRK sudah dilakukan. Karena itu adaptasi masih akan diperlukan. Mengapa beberapa kalangan mengaggap REDD cacat karena berangkat dari penilaian bahwasanya Negara maju yang tergabung dalam Annex I seakan-akan melepas tangan dengan penurunan emisi carbon di dalam negaranya kemudian melimpahkan negara lain sebagai tempat penyerapan karbon yang dihasilkan dari kegiatan industri negaranya, juga dengan adanya perdagangan karbon tersebut hak masyarakat adat pula kedepan akan diambil pula karena adanya bentuk baru intervensi dari negara lain yang melakukan kegiatan aforestasi dan reboisasi.
Thursday, February 4, 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Pages
About this blog
About Me
Followers
Adsense Banner
Iklan
Jejak Kaki
Free Shoutbox by ShoutCamp
0 comments:
Post a Comment