web 2.0

Tuesday, March 16, 2010

hutan vs ekologi mangrove

Hutan mangrove merupakan salah satu benuk ekosistem hutan yang unik dan khas, terdapat di daerah pasang surut di wilayah pesisir, pantai, dan atau pulau-pulau kecil, dan merupakan potensi sumber daya alam yang sangat potensial. Hutan mangrove memiliki nilai ekonomis dan ekologis yang tinggi, tetapi sangat rentan terhadap kerusakan apabila kurang bijaksana dalam mempertahankan, melestarikan dan pengelolaannya.
Hutan mangrove sangat menunjang perekonomian masyarakat pantai, karena merupakan sumber mata pencaharian masyarakat yang berprofesi sebagai nelayan. Secara ekologis hutan mangrove di samping sebagai habitat biota laut, juga merupakan tempat pemijahan bagi ikan yang hidup di laut bebas. Keragaman jenis mangrove dan keunikannya juga memiliki potensi sebagai wahana hutan wisata dan atau penyangga perlindungan wilayah pesisir dan pantai, dari berbagai ancaman sedimentasi, abarasi, pencegahan intrsi air laut , serta sebagai sumber pakan habitat biota laut.
Kondisi hutan mangrove pada umumnya memiliki tekanan berat, sebagai akibat dari tekanan krisis ekonomi yang berkepanjangan. Selain dirambah dan atau dialihfungsikan, kawasan mangrove di beberapa daerah, termasuk DKI Jakarta untuk kepentingan tambak, kini marak terjadi. Akibat yang ditimbulkan terganggunya peranan fungsi kawasan mangrove sbagai habitat biota laut, perlindungan wilayah pesisir, dn terputusnya mata rantai makanan bagi bioata kehidupan seperti burung, reptil, dan berbagai kehidupan lainnya.
Tekanan terhadap hutan mangrove di wilayah DKI Jakarta, sebagai akibat tumbuh berkembangnya pusat-pusat kegiatan dan aktivitas manusia; juga disebabkan oleh beberapa aspek kegiatan antara lain; (a) pengembangan permukiman, (b) pembangunan fasilitas rekreasi, (c) pemanfatan lahan pasang surut untuk kepentingan budidaya pertambakan.
Selain terciptanya perubahan dan kerusakan lingkungan, di bagian wilayah hulu juga ikut andil dalam memperburuk kondisi kawasan pantai. Berbagai bentuk masukan bahan padatan sedimen (erosi), bahan cemaran baik yang bersumber dari industri maupun rumah tangga, merupakan salah satu faktor penyebab penyebab pendangkalan pantai dan keruskan ekosistem mangrove.
Dari beberapa hasil penelitian dilaporkan bahwa kondisi kawasan Pantai dan Kepulauan Seribu, kini dalam keadaan terganggu dan diduga tidak dapat mendukung keseimbangan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat di sekitarnya. Dinas Kehutanan DKI Jakarta (1998), melaporkan bahwa komunitas mangrove yang berfungsi sebagai penyangga sempadan pantai cenderung semakin terganggu peranan fungsinya. Bapealda (2001), melaporkan hasil pemantauan kualitas perairan teluk Jakarta dinilai semakin memburuk dibanding dengan tahun-tahun sebelumnya. Yayasan Mangrove (1999), juga melaporkan hasil evaluasi kawasan-kawasan mangrove di Taman Nasional Kepulauan Seribu, yang memberikan gambaran atas terganggunya kawasan mangrove yang berfungsi sebagai penyangga sempadan pantai pulau-pulau berukuran besar maupun kecil. Demikian halnya dengan laporan hasil pencacahan kondisi sosial ekonomi masyarakat di Kepulauan seribu (Lembaga Ekonomi UI, 2000), menyarikan rendahnya tatanan sosial ekonomi masyarakat ditinjau dari segi pendapatan per kapita, dan tingkat pendidikan masyarakatnya.
Mencermati atas uraian fenomena atas dasar laporan hasil kajian di atas, maka dapat disarikan sebagai aspek permasalahan sebagai berikut :
(1). Kawasan mangrove sebagai jalur penyangga wilayah pantai dan Kepulauan Seribu, peranan fungsi ekosistemnya terganggu: dan memberikan kecenderungan semakin teancamnya sumberdaya alam hayati baik kehidupan flora maupun fauna;
(2). Tatanan sosial masyarakat terdekat dengan kwasan jalur penyangga baik di darat maupun di Kepulauan Seribu, tingkat ekonominya sangat rendah dibanding dengan tingkat sosial di DKI Jakarta pada umumnya;

Atas dasar itulah, perlu pembinaan dalam bentuk “ Restorasi Ekologi Hutan Mangrove di Provinsi DKI Jakarta”, diikuti dengan peningkatan tatanan sosial ekonomi masyarakat di sekitarnya. Hal ini dimaksudkan agara pengendalian atas kecenderungan semakin terdegradasinya kawasan mangrove sebagai jalur penyangga wilayah pantai, termasuk upaya-upaya peningkatan taraf hidup masyarakat sekitar dapat dilakukan secara terprogram, terpadu berkelanjutan.

KEDUDUKAN KAWASAN MANGROVE DAN PERANA FUNGSI EKOSISTEMNYA

Seperti tersirat dalam Perda No.6 DKI Jakarta tahun 1999, tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW),bahwa RTH lindung yang dimaksud dalam perda tersebut, lebih cenderung didominasi oleh penutupan vegetasi mangrove, keberadaan ini nampaknya mendudukkan kawasan mangrove menjadi startegis untuk dipertahankan kelestariannya.
Melalui daya dan upaya untuk melestarikan , meningkatkan dan mengembangkan kawasan mangrove sebagai bagian dari RTH lindung; pada hakikatnya merupakan langkah awal upaya peningkatan kualitas RTH Lindung dalam RTRW 2010, yang berperan fungsi sebagai penyangga da penopang mintakat kenyamanan kota Jakarta.
Pada Ekosistem alamiah, tegakan mangrove membentuk zonasi sesuai dengan habitatnya (lumpur berpasir), salinitas dan fluktuasi pasang surut air laut. Pada masing-masing zonasi dicirikan oleh tumbuh jenis tertentu, yang umumnya mulai dari pantai hingga ke daratan, dengan urutn jenis paling luar dijumpai Avecennia sp, dan secara berangsur-angsur diikuti oleh jenis-jenis Rhizopra sp, Bruguiera sp, Ceriops sp dan Xylocarpus sp.
Karakteristik mngrove yang menarik, merupakan hasil adaptasi terhadap lingkungan dan atau habitatnya. Tapak mangrove bersifat anaerobik bila dalam keadaan terendam; oleh karena itu beberapa jenis mangrove mempunyai sistem perakaran udara yang spesifik. Akar tunjang (stilt roots) dijumpai pada genus Rhizopora, akar napas ( pneumatophores) pada genus Avicennia dan sonneratia; akar lutut (knee roots) pada genus Bruguiera; dan akar papan (plank roots) yang dijumpai pada genus Xylocarpus.
Ekosistem mangrove merupakan ekosistem yang unik dan rawan, mempunyai peranan fungsi multiguna baik jasa biologis, ekologis maupun ekonomis. Peranan fungsi fisik mangrove mampu mengendalikan abrasi dan penyusupan air laut (intrusi) ke wilayah daratan; serta mampu menahan sampah yang bersumber dari daratan, yang dikendalikan melalui sistem perakarannya.
Jasa biologis mangrove sebagai sempadan pantai, berperan sebagai penahan gelombang , memperlambat arus pasang surut, menehan serta menjebak besaran laju sedimentasi dari wilayah atasnya. Selain itu komunitas mangrove juga merupakan sumber unsur hara bagi kehidupan hayati (biota perairan) laut, serta sumber pakan bagi kehidupan biota darat seperti burung, mamalia dan jenis reptil. Sedangkan jasa mangrove lainnya juga mampu menghasilkan jumlah oksige lebih besar dibanding dengan tetumbuhan darat.
Peranan fungsi ekologis kawasan mangrove yang merupakan tempat pemijahan, asuhan dan mencari maka bgi kehidupan berbagai jenis biota perairan laut, di sisi lain kawasan mangrove juga merupakan wahana sangtuari berbagai jenis satwa liar, sepeti unggas (burung), reptil dan mamalia terbang, serta merupakan sumber pelestarian plasama nutfah.
Manfaat ekonomis mangrove, juga cukup memegang peranan penting bagi masyarakat, karena merupakan wahana dan sumber penghasilan seperti ikan, ketam, kerang dan udang, serta buah beberapa jenis mangrove dapat dimanfaatkan sebagai bahan makanan. Manfaat lainnya merupakan sumber pendapatan masyarakat melalui budidaya tambak, kulit mangrove bermanfaat dalam industri penyamak kulit, industri batik, patal, dan pewarna jaring, serta sebagai wahana wisata alam, penelitian dan laboratorium pendidikan.
Mecermati atas karakteristik ekosistem dan peranan fungsinya, nampaknya degradasi (kerusakan) kawasan mangrove akan menyebabkan berbagai fenomena baik terhadap kehidupan biota perairan, dan kehidupan liar lainnya, maupun sebagai sumber kehidupan masyarakat di sekitarnya. Demikian halnya dengan pembangunan dan pengembangan kawasan “tambak” yang kurang terkontrol, akan menyebabkan terdegradasinya habitat maupun vegetasinya, yang secara langsung mupun tidak langsung peranan fungsi menjadi terganggu.

KAWASAN MANGROVE DI JAKARTA DAN TINGKAT DEGRADASINYA

Perambahan dan perombakan kawasan mangrove oleh masyarakat sebagai wahana pertambakan masyarakat, merupakan salah satu faktor penyebab hilangnya kawasan mangrove. Salah satu bukti yang cukup menonjol hasil inventarisasi kawasan mangrove di sekitar Cagar Budaya Pitung Jakarta Utara pada tahun 1998 tercatat 8,5 ha, dengan kondisi kawasan yang masih relatif baik ditinjau dari habitat dan kehadiran jenisnya. Namun demikian hasil evaluasi tahun 2000, kawasan seluas tersebut di atas kini telah berubah total menjadi hamparan pertambakan.
Mencermati uraian di atas serta rendahnya pengetahuan masyarakat awam terhadap makna konservasi sumber daya mangrove, maka kondisi dan keberadaan kawasan mangrove secara alamiah di DKI Jakarta dihadapkan pada tiga tantangan strategis yaitu :
(a). Pengelolaan secara profesional untuk tujuan pelestarian, penyelamatan (pengamanan), dan pemanfaatan secara terbatas berdasarkan peranan fungsinya.
(b). Meningkatkan kualitas baik terhadap habitat dan jenis, untuk mempertahankan keberadaan sebagai akibat terdegradasinya kawasan, baik karena ulah aktivitas manusia yang tidak bertanggung jawab, maupun secara alami (abrasi), sedimentasi dan pencemaran limbah padat (sampah).
(c). Pengembangan kawasan-kawasan berhabitat mangrove, untuk dijadikan kawasan hijau hutan kota berbasis mangrove.
Mencermati atas semakin menurunnya kawasan konservasi mangrove di wilayah DKI Jakart, serta munculnya kiprah koordinasi pemulihan yang diprakarsai oleh Badan Penglolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Provinsi DKI Jakarta , nampaknya merupakan langkah awal yang cukup strategis dalam arti peyelamatan dan pelestariannya. Hal ini mengingat bahwa tujuan yang hendak dicapai , berupaya untuk memulihkan kembali melalui penyelamatan dan pelestarian kawasan mangrove. Adapun dasar pertimbangan perlunya pemulihan antara lain mencakup hal-hal sebagai berikut:
(1). Pembinaan dan penanganan kawasan pelestarian alam, di wilayah DKI Jakarta , kini sebagaian telah menjadi tanggung jawab Pemda DKI Jakarta.
(2). Kawasan mngrove di DKI Jakarta, merupakan bagian dari RTH lindung DKI Jakarta, yang perlu dipertahankan karena peranan fungsinya sebagai koridor hijau pengendali lingkungan fisik kritis perkotaan, dan habitat serta sangtuari kehidupan satwa liar.
(3). Dimanfaatkannya kawasan-kawasan pelestarian alam, sebagai hutan wisata dengan kombinasi sebagai wahana rekreasi dn laboratorium alam, nampaknya kini dinantikan oleh masyarakat luas.

Mengacu terhadap Undang-Undang No.5 Tahun 1990 tentang konservasi sumber daya alam hayati, bahwa pengertian konservasi pada hakikatnya merupakan upaya untuk mengelola sumber daya alam hayati yang pemanfatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya denga tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya . Dalam pada itu, tindakan konservasi yang dilakukan mencakup tiga kegiatan yaitu : (1) perlindungan sistem penyangga kehidupan, (2) pengawetan keragaman jenis baik flora maupun fauna termasuk ekosistemnya, dan (3) pemanfaatan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya secara optimal dan berkelanjutan.
Dalam pada itu, konservasi ragaman hayati (biodiversity), merupakan bagian tak terpisahkan dari pengertian sumber daya alam hayati, dimana kawasan jalur penyangga wilayah pantai, termasuk di dalamnya. Hal ini mengingat ada tiga komponen konservasi yang harus ditangani yaitu : (1) degradasi kawasan penyangga, (2) tatanan kehidupan sosial masyarakat , dan (3) keikutsertaan masyarakat dalam hal pemanfaatan sumber daya secara optimal berkelanjutan.
Di DKI Jakarta , keanekaragaman hayati (ragam hayati) mrupakan sumber daya vital, sebagai penyangga dan penyeimbang lingkungan hidup wilayah perkotaan yang diperankan oleh tabiat ekosistemnya. Pengaruh aktivitas manusia sejak dekade abad XVII telah berlangsung, namun demikian pada abad terakhir ini pengaruh tersebut meningkat secara dramatis. Berkurang dan berubahnya kawasan mangrove di jalur penyangga sempadanpantai bukan saja kibat pengaruh alam, akan tetapi lebih nyata akiba desakan alih fungsi kawasan. Sebagai akibat yang ditimbulkannya, hilangnya jenis-jenis satwa liar karena daya dukung habitatnya yang tidak memadai lagi.
Demikian halnya dengan semakin berkurang dan berubahnya kawaan-kawasan hijau penyangga sempadan sungai, hingga menyebabkan kurang nyamannya mintakat kehidupan masyarakat di sekitarnya. Secara umum ada tiga alasan mendasar mengapa konservasi ragam hayati perlu dilakukan :
(1). Ragam hayati, pada dasarnya sebagai bagian dari prinsip hidup hakiki. Pengertian tersebut memberikan gambaran bahwa setiap jenis kehidupan liar (flora dan fauna) mempunyai hak untuk hidup. Hal ini mengingat bahwa dalam Piagam PBB tentang sumber daya alam, menegaskan bahwa setiap bentuk kehidupan wajib dihormati tanpa mempedulikan nilainya bagi manusia.
(2). Ragam hayati, pada dasarnya sebagai bagian dari daya hidup manusia. Pengertian tersebut memberikan gambaran bahwa ragam hayati membantu planet bumi untuk tetap hidup, karena memainkan peranan penting dalam halsistem penunjang kehidupan, mulai dari mempertahankan keseimbangan materi kimiawi ( melelui siklus biogeokimia), dan mempertahankan kondisi iklim, daerah aliran sungi (DAS) serta berfungsi untuk memperbarui tanah dan komponennya.
(3). Ragam hayati menghasilkan manfaat ekonomi. Pengertian tersebut memberikan gambaran bahwa ragam hayati merupakan sumber dari seluruh kekayaan sumber daya biologis yang memilki nilai ekonomis. Dari ragam hayati, manusia memperoleh makanan, kesehatan karena mampu menyediakan oksigen (O2) bebas, serta memiliki nilai budaya yang spesifik bagi kepentingan hidup manusia.

Dari tiga uraian alasan di atas, memberikan gambaran bahwa keragaman hayati merupakan bagian tak terpisahkan dari konsep pengembangan pemulihan kawasan (hutan) mangrove yang dinilai telah terdegradasi.
Dalam Kepres 32 tahun 1990, tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, dijelaskan bahwa kawasan penyangga pada dasarnya merupakan buffer yang berfungsi sebagai perlidungan terhadap kawasan yang dilindungi (protected area). Dalam kontek kawasan penyangga pantai, dimaksudkan sebagai kawasan (jalur) yang berfungsi sebagai perlindungan terhadap keutuhan pantai dan atau pesisir. Jalur penyangga ini dapat berupa komunitas vegetasi atau (formasi) pantai dan atau mangrove.

0 comments:

Post a Comment

Pages

About this blog

Followers

Adsense Banner

Iklan

Jejak Kaki

Free Shoutbox by ShoutCamp