Alasan Bank Dunia, proyek utang itu untuk membiayai investasi di bidang teknologi bersih (Clean Technology), adaptasi dan pengelolan hutan berkelanjutan di negara berkembang. Seperti gayung bersambut, beberapa negara maju seperti, Amerika Serikat, Inggris dan Jepang pun dikabarkan telah berjanji mengalokasikan dananya untuk mendukung proyek utang dari Bank Dunia ini.
Besarnya nilai proyek utang perubahan iklim yang ditawarkan oleh lembaga bisnis bantuan dan juga negara-negara maju rupanya telah membuat pemerintah terkena penyakit amnesia atau hilang ingatan mengenai dampak buruk utang luar negeri terhadap warganya. Padahal selama ini utang luar negeri telah menyebabkan meluasnya kemiskinan di kalangan masyarakat.
Dari sisi ekonomi bila skema proyek utang baru yang mengatasnamakan perubahan iklim itu disetujui maka dipastikan akan semakin menambah berat beban anggaran dari negara-negara berkembang. Data yang diperoleh dari Koalisi Anti-Utang (KAU) menyebutkan bahwa Indonesia dalam kondisi krisis beban utang yang teramat parah.
Menurut data tersebut, pada tahun 1999 Indonesia termasuk negara berkembang yang memiliki utang lebih dari US$100 miliar yaitu, sekitar US$150,1 miliar Sementara, jika dilihat dari rasio utang terhadap PDB, pada tahun tersebut Indonesia juga termasuk negara yang telah memiliki rasio di atas 100 persen yaitu, sekitar 113 persen.
Beban utang yang begitu besar itu juga berpengaruh bagi pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup di negara berkembang. Betapa tidak, beban utang yang besar akhirnya memaksa negara negara berkembang harus melakukan ekstraksi sumber daya alam melebihi daya dukung ekologinya guna melayani pembayaran utang kepada negara maju. Mudahnya perizinan alih fungsi hutan menjadi kawasan pertambangan di Indonesia dapat dijadikan contoh dalam hal ini.
Perubahan iklim yang terjadi sekarang ini harus dilihat sebagai akibat dari model pembabangunan yang tidak ramah lingkungan hidup. Model pembangunan di negara-negara utara (maju) yang rakus terhadap energi fosil menjadi penyebab meningkatnya emisi gas rumah kaca (GRK) di atmosfir. Celakanya, model pembangunan seperti itu diekspor ke negara-negara selatan (miskin dan berkembang). Akibatnya, keseimbangan dinamis alam dalam menampung GRK pun hancur dan terjadilah bencana ekologi terbesar abad ini yang bernama perubahan iklim itu.
Dengan menempatkan isu perubahan iklim sebagai akibat dari kegagalan model pembangunan dari negara maju, maka tidak adil rasanya bila untuk melakukan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim tersebut, negara-negara selatan harus dibebani dengan utang baru.
Terkait dengan hal itulah, maka pertemuan internasional tentang perubahan iklim yang akan berlangsung di Copenhagen, Denmark pada Desember 2009 mendatang menjadi sangat penting bagi negara-negara selatan. Indonesia, sebagai salah satu negara selatan yang memiliki pengalaman buruk dengan proyek utang, perlu mengambil kepemimpinan untuk merumuskan mekanisme pendanaan baru bagi perubahan iklim yang lebih adil yang tidak mejerat.
Monday, March 15, 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Pages
About this blog
Blog Archive
-
▼
2010
(32)
-
▼
March
(25)
- biogas dan pemanfaatanya
- alternatif teknologi biogas
- Tegakan Pinus (Pinus mercusii)
- geologi ilmu tana
- cura hujan makassar
- keteknikan kehutanan
- kegunaan lebah madu
- ENTOMOLOGI
- PENYULUHAN KEHUTANAN
- PESDA KEHUTANAN
- SIG
- makalah kutu lak
- pasar karbon
- organik dan kapitalisme global
- transformasi politik kehutanan indonesia
- karang vs masyarakat pesisir
- hutan vs ekologi mangrove
- global warming vs karang
- Kegunaan karang
- peristiwa COP 15
- keadilan iklim belum ada
- Utang dalam ketidakpastian
- Badai Matahari 2013 Bukan Akhir Dunia
- Jatim Patok Kenaikan Produk Pertanian 20 Persen
- Pemkot Bekasi Akan Tingkatkan Ruang Terbuka Hijau
-
▼
March
(25)
About Me
Followers
Adsense Banner
Iklan
Jejak Kaki
Free Shoutbox by ShoutCamp
0 comments:
Post a Comment